Hello Awesome Person!

You'll not find anything useful here. Consider this a fair warning.

Wednesday, November 04, 2009

Life is a Matter of Choice (?)

Kata orang-orang, hidup adalah pilihan.
Memang kita berhak memilih jalan kehidupan kita, tapi bukan berarti tanpa 'tekanan'.
Berikut kutipan percakapan yang berlangsung beberapa pekan sebelumnya.

A : Apa kabarnya si B ?
Gue : Gue jarang ketemu B akhir-akhir ini.
A : Dia jurusan apa sih ? Gue lupa.
Gue : Sastra.
A : Sastra ? Ngapain dia ngambil itu ? Kerja apaan dia entar ?

Oh, man.

Gue nggak ngerti lagi kenapa masih ada orang yang punya pemikiran macam ini.
Jangankan sastra, orang-orang yang mendengar program studi yang gue ambil pun turut bertanya,

"Ngapain ambil itu ? Program studi ga jelas gitu. Mau jadi apa ?"

Setau gue, semua pengetahuan itu bagus.
Bahkan hal remeh seperti siapa ketua rt rumah masing-masing adalah pengetahuan.
Jadi, apakah jurusan dan program studi tidak 'populer' berarti tidak penting?

Apa sebegitu pentingnya akan jadi apa kita di masa depan ?
Apa hanya orang yang kaya, terkenal, berkuasa, dihormati atau ditakuti yang termasuk orang-orang 'berhasil' dalam hidup ?
Apa kalau gue bermasa depan 'tidak jelas' dan melarat berarti gue termasuk orang-orang tidak 'berhasil' ?

Oke, gue tidak munafik dengan bilang gue tidak perlu kekayaan.
Mungkin secara tidak langsung memang perlu.
Maksudnya, yang gue ingin dalam hidup hanya bersenang-senang (atau lebih tepatnya bersantai-santai).
Dan untuk bersenang-senang (bersantai-santai a.k.a. tidur selama yang gue mau) perlu uang bukan ?

Tapi apa iya jika kita memilih 'jalan' yang tidak akan dipilih orang intelek artinya kita orang bodoh ?
Mungkin memang bodoh karena tidak memilih yang 'terbaik', tapi setidaknya kita memilih yang 'terpenting'.

Gue juga pernah mendengar sebuah cerita tentang cewek yang pintar, kaya, dan cantik, tapi dia memilih kawin lari dengan cowok tidak lulus sekolah, tidak punya pekerjaan tetap, dan tidak ganteng pula.
Pendapat sahabat-sahabat si cewek adalah,

"Kok dia mau sih sama si itu yang blah-blah-blah. Bego ya ?!"
Mereka komentar seperti ini tapi masih bisa menganggap diri sahabatnya si cewek ?

Mungkin dia 'bodoh', tapi dia paham apa yang 'penting' bagi dirinya, yaitu bahagia (meski, mungkin, semu).
Setiap orang memiliki pandangan berbeda akan apa yang dianggap 'penting' bagi dirinya, jadi kenapa manusia harus saling menghakimi ?

Dan gue juga tidak munafik dengan mengatakan gue tidak pernah menghakimi orang.
Setidaknya gue menghakimi orang dan gue simpan dalam diri.
Oke, pengakuan dosa, kadang (atau sering ?) gue memberi tau orang lain isi komentar gue.
Tapi gue sering (atau kadang ?) merasa bersalah kok setelah memberi tau komentar-komentar itu ke orang lain !

Hahahahahah.

Silly me.
Being all this and that but in the end it's another hypocritical state of me.
Don't worry though, I'll stop this annoying series of rhetorical question, now.